JAKARTA | Seorang jurnalis independen, telah menerima laporan dari beberapa Polres dan Polda di Indonesia mengenai adanya oknum wartawan yang mencoba melakukan tindakan tidak terpuji dalam tugas jurnalistik mereka. Berdasarkan keterangan tersebut, sejumlah oknum wartawan diduga terlibat dalam meminta “86” — istilah yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah secara informal atau dengan cara damai tanpa proses hukum — dengan ancaman akan melaporkan kasus tersebut kepada atasan mereka yang lebih tinggi, atau bahkan melibatkan pejabat-pejabat tertentu untuk melancarkan niat bulus tersebut.
Modus Operandi Oknum Wartawan
Dalam laporan yang diterima, oknum wartawan ini menggunakan profesi mereka untuk memeras pihak tertentu, khususnya aparat penegak hukum atau instansi yang sedang menangani kasus besar. Apabila permintaan mereka tidak dipenuhi, mereka mengancam akan memanfaatkan posisi mereka sebagai wartawan untuk memperbesar kasus atau mengadukan masalah ini kepada pejabat yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Beberapa dari mereka bahkan diketahui memiliki jaringan komunikasi dengan pejabat tertentu, yang mereka gunakan untuk melicinkan praktik-praktik korup tersebut.
Dasar Hukum Tindakan Tersebut
Tindakan ini jelas bertentangan dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemerasan. Pasal ini menyatakan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa orang untuk memberikan sesuatu, membayar utang, atau menghapuskan piutang, dapat dihukum pidana.
Selain itu, perbuatan seperti ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berdasarkan Pasal 6 UU Pers, wartawan wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat, serta menjunjung tinggi asas kepatutan dan akurasi dalam pemberitaan. Wartawan yang menyalahgunakan profesinya untuk melakukan pemerasan, ancaman, atau manipulasi jelas melanggar kode etik jurnalistik yang diatur dalam UU tersebut.
M. Ridho menekankan bahwa wartawan yang terlibat dalam praktik semacam ini tidak hanya mencemarkan nama baik media, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap pers sebagai lembaga pengawasan sosial yang seharusnya netral dan bertanggung jawab. “Media adalah pilar keempat demokrasi. Ketika profesi ini disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, marwah jurnalistik hancur, dan publik kehilangan kepercayaan pada pers,” tegas Ridho.
Upaya Penegakan Hukum dan Pemurnian Jurnalistik
Ridho juga menyerukan kepada penegak hukum untuk bersikap tegas terhadap oknum-oknum yang merusak citra wartawan dengan cara tidak terpuji ini. Proses hukum harus ditegakkan sesuai dengan aturan yang berlaku, dan setiap pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran harus dihukum sesuai dengan undang-undang.
Sebagai langkah preventif, Ridho juga mengajak semua pihak, termasuk asosiasi wartawan dan media massa, untuk memperkuat pengawasan internal. Setiap wartawan harus mengutamakan independensi, kejujuran, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Wartawan yang bersih dan berintegritas akan selalu menolak segala bentuk suap, pemerasan, dan upaya pembungkaman kebenaran.
Dengan demikian, pers sebagai pilar demokrasi akan tetap tegak berdiri, menjaga transparansi dan keadilan dalam setiap laporannya..
NARASUMBER PEWARTA: M RIDHO. EDITOR RED: LIESNAEGHA.