Suaramediaindonesia.com | Senin, 27 Desember 2021.
OPINI | Di negeri Nusantara yang sejak kakek moyang dulu penghuninya terkenal dengan peradaban dan budaya ‘unggah – ungguh’, kesantunan, toleran sesama, gampang senyam – senyum, dan penuh kegotongroyongan dalam bernegara dan berbangsa itu, akhir – akhir ini berubah tiga ratus enam puluh derajat ‘menjadi’ bangsa pendengki, pendendam, penghujat, pemprovokosi, pengujar kebencian dan bangsa ‘berwajah’ beringas satu sama lain.
Jujur, saya sebagai manusia udik, awam, tidak akademis dan sekaligus tak paham perundang – undangan legal formal sama sekali, tetapi di dalam dada saya sebagai kodrati manusia ciptaan – Nya, tentu tidak sepaham dan bahkan menolak jika bangsa yang terkenal adiluhung ini sebagian penghuninya ketika menyampaikan ujaran selalu dipenuhi dengan narasi – narasi yang ‘dibangun’ berdasarkan kalimat – kalimat kotor yang keluar dari mulutnya.
Jujur, saya yang barangkali sama tidak setujunya dengan ratusan juta manusia di negeri ketika mendengar dan melihat di media sosial betapa ‘bebasnya’ para orang pinter dan memiliki popularitas tinggi berujar dengan menebar dan menabur kebencian terhadap sesama warga bangsa di negeri Pancasila ini.
Mereka begitu entengnya melakukan penghujatan, penistaan, perundungan, penghinaan, dan bahkan tensinya sudah meninggi sebagai pengancaman antar pribadi atau kelompok.
Sekali lagi, saya sebagai manusia awam, goblok, pandir dan dungu yang mati hidunya di kampung itu menjadi terimbas oleh celoteh – celoteh yang menurut ‘undang – undang’ di dalam dada ini tidak mendidik sama sekali.
Bahkan saking kegoblokan saya hingga menyimpulkan bahwa di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini jika perilaku ‘keberingasan’ yang sering dipertontonkan di media – media itu cepat atau lambat jika tak sesegera dilakukan penegasan yang nyata, akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan bernegara dan berbangsa di negeri yang sama – sama kita cintai bersama ini.
Akhirnya, saya menuliskan sebaris kalimat di dinding kamar berbunyi : kini telah datang suatu zaman yang para penghuninya digambarkan sebagai gelombang cacian di tengah samudra kebencian.
Narasumber : Oma Prilly. Editor Red : Liesna Ega.