Suaramediaindonesia.com | Minggu, 26 September 2021.
Opini | Tidak jarang di temukan pada berbagai media sosial tentang statement seseorang yang begitu lugas dan beraninya menyentil berbagai hal. Berbagai sentilan yang disampikan tidak jarang berbasis opini semata sehingga tidak didukung data yang kuat dan akurat. Ungkapan sentilan-sentilan yang garang di media sosial tersebut memaksa pihak tertentu—termasuk kepolisian atau aparat lainnya—untuk turun tangan dalam penyelesaiannya. Ternyata, kegarangan sentilan yang diungkapkan tidak berbanding lurus dengan kenyataannya. Sosok yang garang di media sosial menjadi sosok yang tidak punya powerfull dalam kenyataannya—setelah dikonfirmasi pihak-pihak tertentu. Sosok yang seakan seekor harimau di media sosial, tidak jarang hanyalah seekor kucing dalam kenyataannya.
BANDUNG BARAT | Fenomena kehidupan manusia saat ini sudah menginjak pada era revolusi industri 4.0 (computer/internet of things). Era yang semakin memperlihatkan kekerapan intensitas pemanfaatan perangkat digital oleh masyarakat pada sebagian besar ranah kehidupan. Saat ini, berbagai elemen masyarakat dipaksa untuk dapat memanfaatkan perangkat digital dalam menghadapi dinamika kehidupan ini.
Efek dari fenomena ini adalah entitas pengetahuan dan informasi bergerak secara cepat, murah, dan masiv. Masyarakat dengan mudah mendapat informasi dari berbagai ruang digital serta dengan mudah pula menyebarkannya. Karena berbagai kemudahan tersebut, era ini telah melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat. Terjadi akselerasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara masiv dan optimal. Masyarakat sudah mulai terbiasa mencari informasi dan berkomunikasi pada ruang digital, termasuk di dalamnya media sosial—whatsapp, facebook, instagram, twitter, serta youtube.
Kekerapan intensitas masyarakat dalam memanfaatkan ruang digital untuk berkomunikasi melalui kanal media sosial dapat mengarah pada dua ranah yang bertolak belakang. Kekerapan intensitas komunkasi melalui berbagai ruang digital telah memberi kemudahan pada masyarakat penggunanya untuk dapat berkomunikasi dengan tidak tersekat oleh ruang dan waktu. Berbarengan dengan perolehan kemudahan tersebut, ternyata pemanfaatan kanal digital melahirkan resiko negatif terhadap masyarakat penggunanya. Masuknya anasir kurang baik bagi perkembangan kehidupan masyarakat menjadi bagian yang tidak bisa terelakkan. Berbagai anasir kurang baik yang diusung konten negatif—ujaran kebencian, fitnah, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, informasi hoax, dan lainnya—dengan mudah dapat tersebar pada berbagai kanal media sosial instagram, whatsapp, twitter, facebook, youtube, dan media sosial lainnya.
Mengacu pada laporan Digital Civil Index (DCI) yang merilis hasil surveinya mengungkapkan bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia menempati urutan paling bawah pada tingkat negara-negara di Asia Tenggara. Laporan DCI yang mengukur tingkat kesopanan masyarakat berbagai negara, termasuk masyarakat Indonesia dalam berselancar pada ruang digital tersebut menempatkan masyarakat Indonesia pada angka 76—semakin besar angka, semakin buruk tingkat kesopanan.
Rilisnya hasil survei DCI tersebut melahirkan respons yang tidak sedikit dari masyarakat. Respon yang mengemuka di antaranya terkait tingkat kebenaran survei yang dilakukan DCI. Banyak pihak yang menyangsikan validitas pelaksanaan survei yang dilakukan.
Terlepas dari adanya respons masyarakat tersebut, hasil survei DCI menjadi indikator bahwa perubahan sikap masyarakat dalam memanfaatkan ruang digital sudah sepatutnya mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Dengan tidak menutup mata, berbagai konten negatif telah memberi nuansa dinamika pemanfaatan ruang digital. Berbagai konten negatif berupa berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya sangat banyak bertebaran di ruang digital, sehingga dengan sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat.
Bertebarannya konten negatif pada ruang digital tersebut tentu sangat mengkhawatirkan banyak pihak karena dimungkinkan akan manjadi racun yang dapat merusak harmonisasi ekosistem kehidupan ini.
Untuk menyikapinya, salah satu langkah yang harus dilakukan adalah memasivkan edukasi dalam pemanfaatan ruang digital terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, keterlibatan para pemangku kepentingan yang memiliki kesadaran akan berbahayanya masyarakat ketika dicekoki oleh berbagai konten negatif sangatlah dibutuhkan. Upaya yang dilakukan di antaranya mengampanyekan empat pilar literasi digital yang digagas dan diprogram oleh Kemenkominfo. Berkenaan dengan kebijakannya, Kemenkominfo mengeluarkan program tentang peta jalan literasi digital 2021-2024. Peta jalan tersebut memuat empat pilar yang harus dibangun pada masyarakat sebagai refleksi kepemilikan kompetensi literasi digital. Keempat pilar tersebut adalah digital skill, digital ethic, digital safety, dan digital culture.
Lahirnya kompetensi digital dengan empat pilar sebagai basisnya memungkinkan masyarakat untuk santun dalam berkomunkasi di ruang digital. Kampanye harus terus dilakukan oleh berbagai pihak—bukan sebatas Kemenkominfo saja—sehingga harapan lahirnya masyarakat yang mengedepankan kesantunan saat berkomunikasi dalam ruang digital dapat dengan cepat dan mudah tercapai. Dengan kebersamaan berbagai pemangku kepentingan, tantangan yang dihadapi dimungkinkan akan melahirkan buah yang manis. Tentunya, rilis hasil survei seperti yang diungkapkan DCI tidak lagi menohok dan menampar lagi.
Dengan demikian, tugas berat untuk terus mengampanyekan empat pilar literasi digital harus dilakukan oleh berbagai pihak berkepentingan. Kampanye dimaksudkan untuk melahirkan keterbangunan pemahaman masyarakat dalam berselancar di ruang digital, sehingga rilis dari berbagai pelaku survei tidak akan menohok dan menampar lagi.
Narasumber Pewarta : Disdikkbb This entry was posted by bidangsmp. Pewarta : DaSsarr IINews Jabar. Editor Redaksi : Liesna Ega.