Popi Siti Ichsanniaty, S.Pd., M.Pd.
(Fungsional pada Bidang PSD, Disdik Kab. Bandung Barat)
Renungan panjang dalam mengamati perjalanan peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan dalam menghadapi situasi pandemic covid 19. Fenomena itu menggerakkan hati ingin sedikitnya memberikan sebuah goresan yang bermakna dalam dunia pendidikan. Setidaknya, dalam situasi apapun dunia pendidikan tidak terpuruk dan dapat tegak berdiri dengan pondasi kuat yang dibangun secara bersinergi oleh kalangan akademisi, birokrasi, maupun warga sekolah yaitu pendidik, tenaga pendidik, dan orangtua siswa sebagai masyarakat pendamping yang siap memantau keberlangsungan pendidikan anak-anaknya.
Mencermati program-program pihak Kemendikbudristek yaitu Kejar Mutu PPPPendidikan yang tersebar di 15 Sekolah Dasar di Dinas Kabupaten Bandung Barat dapat digambarkan bahwa selama pandemi Covid 19 telah terjadi 3 faktor yang menjadi permasalahan mendasar yaitu learning loss, teaching loss, dan character loss. Di bawah ini akan dirunut satu persatu dari ketiga faktor yang menjadi kendala tersebut.
Learning loss
Learning loss dapat diartikan sebagai hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik secara umum maupun spesifik atau terjadinya kemunduran proses akademik karena faktor tertentu. Hal yang melatarbelakangi terjadinya learning loss yaitu; 1) kasus peserta didik putus sekolah, 2) penurunan capaian belajar, 3) kekerasan terhadap anak, 4) guru masih terfokus dalam penuntasan kurikulum (education solution partner).
Dalam masalah kasus peserta didik yang terpaksa untuk bekerja dirasakan sebagai sebuah keterpaksaan. Mengapa demikian? Karena selama berada di sekolah peserta didik hanya melihat sekolah sebagai sebuah bangunan tempat belajar secara akademik, padahal hakikatnya pendidikan adalah membangun karakter peserta didik dalam menyiapkan masa depannya. Hendaknya sekolah tidak hanya memberikan pelajaran secara akademik yang menuntut angka dan nilai namun mempersiapkan agar mereka dapat mandiri dapat bertanggung jawab terhadap kehidupannya melalui kegiatan wirausaha. Melalui kegiatan wirausaha, anak belajar bagaimana sebuah keinginan tidak dapat terpenuhi begitu saja tetapi melalui perjuangan yang tidak mudah. Dalam kegiatan wirausaha anak memperoleh sifat gigih, tidak mudah menyerah; optimisme, negosiasi dan jiwa kerja keras. Jiwa inilah yang sudah hilang di antara peserta didik kita, karena selama ini selalu dihadapkan pada situasi dimudahkan dan diringankan. Pendapat ini bukanlah stigma negative namun di daerah pedesaan jiwa ini masih ada, banyak peserta didik untuk menuju perjalanan sekolah, harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan menempuh banyak rintangan. Bekal inilah yang diperlukan di tengah-tengah jiwa anak-anak kita yang sudah mulai terkikis dengan adanya pengaruh gadget dan teknologi yang serba dimudahkan.
Penurunan capaian belajar dipengaruhi oleh perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh. Hal itu berakibat pada kesenjangan capaian belajar terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda. Ketercapaian tujuan pembelajaran tidak dapat disamaratakan antara kondisi di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan. Di daerah perkotaan peserta didik dimudahkan dengan terpenuhinya berbagai aspek jaringan teknologi dan informasi. Sedangkan di daerah pedesaan, jaringan internet dan kendala signal yang menjadi hambatan dalam akses pembelajaran. Tentu saja penilaian tidak hanya diukur oleh kemampuan peserta didik dalam akses internet, sebaiknya penilaian secara akademis dikolaborasikan dengan kemampuan peserta didik yang berada di daerah pedesaan dengan cara mereka mampu membantu orang tua di ladang atau perkebunan atau apaun itu yang sekiranya peserta didik dapat membantu orangtua dengan berbagai kegiatan kreatif yang bermanfaat baik bagi diri dan lingkungannya.
Tidak adanya sekolah tatap muka melahirkan banyak anak yang terjebak di dalam kekerasan di rumah tanpa terdeteksi guru. Proses pembelajaran peserta didik kita dari awal masuk ke bangku sekolah tidak dipersiapkan bahwa proses pembelajaran pada dasarnya adalah tugas bersama-sama antara pendidik dan orang tua. Selama ini mindset orangtua beranggapan bahwa perolehan ilmu adalah tugas seorang guru. Di kalangan masyarakat, khususnya orang tua masih banyak yang belum memahami hal itu. Sejauh ini, program parenting masih kurang disosialisasikan bahwa pentingnya peranan orangtua dalam mendampingi anak dalam proses pembelajaran. Ilmu hanya sekedar perolehan informasi dari buku bacaan ataupun pemaparan dari guru. Padahal ilmu sejatinya adalah usaha-usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam semesta. Proses peserta didik dalam mengamati, mengobservasi penemuan tentang pengetahuan adalah ilmu. Bagaimana misalnya seorang peserta didik dapat mengamati. Bagaimana proses bunga dapat mekar dari awal kuncup. Proses fotosintesis ini harus diamati oleh peserat didik sehingga mereka dapat menemukan teorinya sendiri. Inilah yang harus diasah oleh para pendidik, sehingga muncul rasa ingin tahu, rasa kebanggaan memperoleh imu dari hasil meneliti, sehingga lahirlah peneliti-peneliti yang handal dan beretika.
Kesulitan guru adalah mengelola pembelajaran jarak jauh dan masih terfokus dalam penuntasan kurikulum. Pendidik dalam menyampaikan materi seperti kejar-kejaran dengan penuntasan kurikulum. Strategi pembelajaran melalui virtual hanya sebatas penyampaian materi saja, tidak dibarengi dengan kreativitas siswa dalam memahami materi tersebut. Karena itu, pihak kemdikbudristek memberikan alternatif penggunaan kurikulum darurat dalam masa pandemi Covid 19. Sebenarnya, apabila pendidik jeli dalam kurikulum 2013 telah memuat kreativitas agar siswa dapat bersikap kreatif dan inovatif, bahkan di sekolah-sekolah swasta kurikulum 2013 dikombinasikan dengan muatan kurikulum sekolah. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kejenuhan pada diri anak dalam menerima materi-materi yang diterima dari gurunya. Yang terjadi, hanya sekedar transformasi ilmu dari pendidik kepada peserta didik dan penugasan yang bertumpuk, padahal hakikat pencarian ilmu yang sudah dibicarakan di awal adalah proses pengamatan dan penemuan teori melalui alam sekitarnya.
Teaching loss
Teaching loss dapat diartikan sebagai menurunnya semangat pendidik dalam membekali peserta didik dalam proses pembelajaran. Mereka terlena dengan waktu yang fleksibel dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Namun, dari hasil temuan lain, dengan diberlakukannya pembelajaran jarak jauh membuat guru merasa kelelahan karena harus menyiapkan materi dalam waktu yang singkat dan beban tugas administrasi yang tidak sedikit tentunya. Di sinilah peranan pemimpin yaitu kepala satuan pendidikan untuk dapat melaksanakan sistem manajerial yang efektif dan menyenangkan. Menciptakan kondisi dunia kerja yang dapat menjawab kebutuhan guru sehingga merasa nyaman berada di sekolah. Sekolah harus menjadi rumah kedua bagi guru dalam meningkatkan kreativitas dan inovasi.
Character loss
Pendidikan karakter merupakan usaha yang terncana untuk membangun karakter individu agar menjadi pribadi yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang banyak. Di Jepang, penanaman karakter telah diberikan di kelas rendah yaitu di kelas 1, 2 dan 3 jenjang Sekolah Dasar. Siswa kelas rendah tersebut dalam 3 tahun tidak diberikan pelajaran yang bersifat akademis melainkan pelajaran nilai-nilai moral dan etika sopan santun terhadap sesama, guru, warga sekolah maupun orangtuanya di rumah. Dari awal berangkat sekolah mereka dibiasakan untuk pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sendiri walaupun memiliki fasilitas pribadi, apabila letak rumahnya berjauhan dari sekolah disiapkan kendaraan sekolah maupun transportasi umum yang ramah anak. Tidak ada peserta didik di Jepang kita temukan mereka diantar jemput oleh orangtua atau supir pribadinya. Bahkan di kelas taman kanak-kanak pun mereka telah mandiri pergi dan berangkat ke sekolah sendiri. Hal ini untuk melatih kemandirian dan sikap bertanggung jawab terhadap dirinya. Selanjutnya, pada saat sesi makan siang, mereka secara bergantian melayani temannya mempersiapkan ruang makan dan mencuci sendiri alat makannya bahkan membersihkan sendiri ruang kelasnya. Dari kegiatan tersebut karakter anak terbangun yaitu sifat ingin melayani orang lain apabila ingin dihargai oleh orang lain, sifat empati dan simpati, sifat menghargai pekerjaan orang lain apapun pekerjaannya, dan pentingnya pekerjaan orang lain dihargai.
Dalam budaya mengantri banyak kita temukan karakter yaitu belajar menunggu. Dengan menunggu melatih jiwa sabar, mengatur waktu, menghargai sebuah kompensasi, apabila telat maka akan berada di urutan belakang. Belajar menghargai sebuah proses bukan hasil. Hasil hanyalah sebuah bonus dari ketercapaian sebuah proses.
Penanaman bekal agama tidak hanya milik mata pelajaran agama saja tetapi pembekalan orangtua yang pertama dan utama. Agama sebagai pondasi awal dapat disinergikan dalam kehidupan sehari-hari, sholat tepat waktu mengajarkan bahwa dalam hal apapun kita harus menghargai waktu dan kepatuhan terhadap Sang Khalik. Agama pun bukan hanya ritual, namun penanaman akhlak yang baik menajadi dasar pribadi yang seutuhnya.
Dari catatan tersebut saya berpikir bahwa bangsa kita memang dari awal tidak dipersiapkan menghadapi situasi dalam keadaan darurat. Pada saat terjadi pandemi Covid 19, semua seperti bangun dari tidur yang Panjang. Dari awal selama ini kita memang sudah banyak kehilangan yang tanpa kita sadari. Esensi sebuah pendidikan yaitu membangun karakter dan membangun rasa ingin tahu siswa dianggap sebagai hal yang bisa tercapai melalui pelajaran-pelajaran, padahal sesungguhnya merupakan bagian dari proses pembelajaran.
Sebaiknya penanaman karakter mulai sekarang dapat disisipkan dalam setiap mata pelajaran, sehingga tidak lagi kita merasakan kehilangan. Jangan sampai kita kehilangan lagi yang lebih besar yaitu kehilangan anak-anak kita, dimakan oleh kemajuan zaman. Kita jangan sampai melahirkan robot-robot yang tidak berempati dan bersimpati.***
Pewarta: DassARS –Editor Redaksi: Liesna Ega