Suaramediaindonesia.com | Selasa, 23 November 2021.
OPINI | Alam raya, alam semesta, jagad raya atau universe dalam arti luas yang merupakan totalitas dari segenap (entities) hingga semua proses yang ada. Termasuk di dalamnya keberadaan manusia dan seluk-beluk kehidupan secara keseluruhan. Terjadi hubungan timbal-balik antara manusia dan alam semesta. Manusia sebagai mahkluk hidup memperoleh suatu manfaat dan resiko alam semesta, begitu pula sebaliknya. (Baca Prof. Dr Mohammad Soerjani; Ekologi dan Alam semesta).
Krisis atau kerusakan ekologi itu terjadi karena ekonomi tidak lagi bermitra dengan ekologi dalam pertumbuhannya. Dalam artian, pertumbuhan ekonomi harus memikirkan batasan-batasan ekologis. Karena ekonomi sebenarnya saudara kandungnya ekologi yang lahir dari satu rahim kata “oikos” dan “nemein” yang berarti menejement (pengolahan).
Ekonomi mencakup studi khusus bagaimana manusia harus mengolah rumah tangganya sendiri sesuai dengan “oikos” dalam kajian ekologi yang mencakup rumah tangga seluruh mahkluk hidup. Ekonomi yang melepaskan diri dari ekologi adalah ekonomi yang ekstraktif.
Di dalam struktur pemerintahan maupun kebijakan, cara pandang yang ekologis cenderung tertutup dan dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi karena dominasi sistem oligarki yang mengarah pada bisnis korporatif di sektor industri ekstraktif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Tentu undang-undang yang mengatur lingkungan hidup selain kesannya antroposentris, juga tidak mungkin relevan dalam kebijakan publik karena dominasi sistem tadi yang di jelaskan diatas.
Di dukung dengan konflik paradigma antara yang pro dan kontra, di kalangan masyarakat yang sadar mempertahankan kualitas lingkungan hidup (ekologi) dan tipe masyarakat yang berpandangan utilitarianisme. Berpengaruh lebih sedikit melihat alam sebagai satu kesatuan utuh dengan kehidupan mereka (manusia), dan lebih banyak melihat alam hanyalah sekedar objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi semata.
Penindasan sistem kapitalis terhadap buruh industri ekstraktif yang terjadi dimana-mana, kalau memakai kacamata analisisnya Karl Marx, kita bisa melihat bahwa sepatutnya buruh industri ekstraktif kepada majikan (kapitalis atau korporat) di bawah aturan, hanyalah sebatas alat mengeksploitasi alam. Karena selain pekerja, bagi Marx, buruh juga bagian dari alat produksi kapitalisme.
Kalau kita lihat akan seperti ini;
KAPITALISME –> BURUH –> ALAM (seluruh yang mencakup di dalamnya termasuk manusia) ; Kita tahu bahwa kapitalisme tujuan utamanya adalah mengeksploitasi alam, tetapi harus menginjak-injak punggung buruh. Disinilah terjadi penindasan manusia terhadap manusia. Antara penindas dan tertindas. Yang tertindas akan terus tertindas jika tetap menjadi alat, dan akan semakin melarat jika alam semata-mata di lihat sebagai objek yang harus di eksploitasi.
Demikian yang di lihat Vhandana Shiva, bahwa kolonialisme, atau saat ini dengan gaya barunya yang kita kenal dengan nama kapitalisme, tujuannya menguasai tanah, sedangkan ia masih menguasai sebagian seluruh ruang hidup manusia. Tentu yang di rampas adalah petani kecil dan nelayan, dan yang terampas saat nanti akan menjadi alat eksploitasi alam (buruh). Disini akan terjadi alienasi karena mereka sudah kehilangan mata pencaharian, sebab seluruh pundi-pundi penghidupan sudah di rusak dan di kapitalisasi oleh kapitalis yang adalah anak kandung dari kolonialis.
Buruh menjadi buruh bukanlah sesuatu yang kondrati. Karena bagi Marx, yang terpenting adalah bukanlah ekonomi itu menjadi baik tetapi bagaimana kita bisa keluar dari desakan eksternal. Bagi penulis, ekologi-lah yang menentukan ekonomi, bukan ekonomi yang menentukan ekologi. Dalam artian, kita tidak mungkin sejahtera diatas krisis ekologi. Agar lebih longgar di pahami, penulis sepakat bahwa ekologi adalah ekonomi yang permanen.
Seseorang menjadi buruh karena desakan eksternal yang di bentuk dari sistem kapitalisme. Marx menginginkan agar manusia kembali seperti semula dengan alam, dan kom/sosialisme diambil sebagai spirit komunal yang lebih modern dan manusiawi. Karena disitu tidak ada buruh tidak ada kapitalis. Kita semua sama dan lebih manusiawi. Itu mengapa Erick From menganggap bahwa filsafat MDH (Materialisme dialektika historis) Marx itu lahir dari antitesa naturalisme dan humanisme.
Untuk itu hubungan timbal-balik (simbiosis mutualisme) antara manusia dan alam tidak boleh terputus, jika tidak manusia akan terasing dengan kehidupannya sendiri sebagai mahkluk yang hidup diatas alam. Barangkali disinilah letak posisi konsep Alienasi menurut Karl Marx.
Oleh karena itu, harusnya yang di selamatkan adalah ruang hidup bukan peluang hidup. Gerakan politik progresif, seutunya harus lahir dari kedalaman perspektif ekologis yang di dengung-dengungkan Arne Naess tentang Deep Ecology yang tidak sekadar berhenti pada tuntutan nilai ekonomis semata. Demikian juga kelompok hijau Burlington. Jangan khawatir, penulis ulangi, ekologi itu adalah ekonomi yang permanen.
Dengan basis kesadaran ekologis, berarti kita melawan dominasi sistem kapitalistik, korporatif, atau imperialisme lingkungan istilah Sonny Keraf. Akan tetapi, mungkin ekologi kurang mendapat perhatian defisit wacana, sehingga tidak pernah berpengaruh menjadi gerakan politik yang basisnya kesadaran ekologi atau fokus pada masalah ekologi. Kalaupun ada, itu hanyalah sebatas sisipan issu sampingan atau agresifitas kemarahan gerakan atas pelanggaran lingkungan terhadap suatu kebijakan.
Jika ekologi sudah mendapat perhatian serius, pertanyaannya, Bisakah buruh industri ekstraktif memberontak karena alam di eksploitasi?
Karana upah sudah di sepakati terlebih dahulu, antara buruh dengan majikan (kapitalis), agar stabilitas produksi yang syarat destruktif tetap berjalan. Selama upah masih sesuai kesepakatan, selama itu pula buruh tidak mungkin memberontak? Bagaimana kepedulian mereka atas nasib lingkungan hidup (ekologi), sementara upah berasal dari proses produksi yang syarat destruktif ?
Kiranya sudah cukup kita mengekploitasi alam. Kalau bukan dengan satu pertanyaan besar (big question), ‘bisakah kita hidup dengan uang, emas dan sebagainya di atas krisis ekologi?’ sedangkan kita makan dan minum dari hasil alam.
Penulis : Rosihan Anwar
Kuliah : STITEK NUSINDO MAKASSAR
Jurusan : Teknik Lingkungan
Editor Red : Liesna Ega 💻 . Narasumber Pewarta : Malagwari.