JAKARTA i suaramediaindonesia.com – Berdasarkan ketentuan UU No29 tahun 2004 tentang Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden yang mempunyai fungsi Pengaturan, Pengesahan, Penetapan, serta Pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktek Kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. maka KKI berwenang untuk menerbitkan STR ( Surat Tanda Registrasi ) dokter.
Sedangkan SIP ( Surat Izin Praktek ) Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU no 29 tahun 2004 telah dikeluarkan oleh Pejabat Kesehatan yang berwenang di Kabupaten / Kota tempat mana kedokteran tersebut berpraktek atau kedokteran gigi dilaksanakan,
Yang mana salah satu syarat untuk mendapatkan SIP adalah dengan rekomendasi dari Organisasi Profesi ( pasal 38 ayat (1) hurup c UU 36/2004)
MKEK adalah bagian dari kewenangan yang diberikan oleh Ormas yang bernama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengatur masalah etika pelayanan Dokter,
salah satu kewenangan IDI yang diberikan oleh KKI adalah memberikan rekomendasi ke KKI agar dokter mendapat STR dan SIP tadi , sedangkan MKEK sendiri memiliki tugas dan kewenangan yaitu memberikan fatwa tentang etik kedokteran, dan sangsi kepada anggotanya apabila dianggap melanggar etik, memberi rekomendasi kepada penyidik apabila diperlukan apakah seorang dokter itu melanggar hukum atau “hanya” melanggar etik, serta memberikan pembelaan terhadap anggotanya jika menghadapi masalah tentang etika profesi;
Berkaitan dengan Rekomendasi MKEK yang memecat Dr.Terawan dari anggota IDI apa konsekwensinya.
Keputusan MKEK harus disampaikan ke IDI dan IDI yang akan mengeksekusi keputusan MKEK, belum tentu semua keputusan MKEK akan dilaksanakan oleh IDI, IDI akan mengkaji dasar pertimbangan MKEK dalam mengambil keputusan jika pertimbangan tersebut sudah sesuai dengan AD / ART dan disepakati oleh Rapat Pengurus IDI dalam waktu 28 hari maka akan dieksekusi, (sedangkaan sampai saat ini pengurus IDI yang baru belum terbentuk, hanya ada ketua umum IDI, ketua Elect dan ketua MKEK yang baru,)
Bahwa Keputusan MKEK masih bersifat rekomendasi jadi tidak berlaku serta merta.
Bahwa sikap IDI atas rekomendasi MKEK mengenai satus dr Terawan bisa menunda dan bisa mengeksekusi hasil rekomendasi, Jika IDI menunda Pelaksanaanya karena akan dikaji kembali maka Yang menjadi masalah berapa lama penundaan ini, apakah dengan penundaan ini berarti rekomendasi ditolak atau tidak diterima atau jika nanti hasil pemeriksaan IDI ternyata dasar pertimbangan MKEK terbukti, maka rekomendasi MKEK dapat dieksekusi ;
Bahwa jika tidak diterima maka jela tidak ada masalah dengan status dr Terawan sebagai anggota IDI masih tetap bisa praktek namun Bagaimana jika ternyata rekomendasi tersebut diterima dan dieksekusi ?
Jika pemberhentian permanen tersebut diterima, maka dr Terawan sudah tidak menjadi anggota IDI lagi, konsekwensinya maka segala hak hak yang akan diperoleh sebagai anggota IDI akan hilang, maka dengan pemecatan tersebut berarti dr Terawan hanya dapat praktek selama SIP (surat ijin prakteknya) masih berlaku setelah itu maka dr Terawan tidak dapat praktek lagi karena tidak mungkin mendapat rekomendasi dari IDI, karena sudah bukan anggota, jika dr. Terawan praktek maka beliau dapat dipidana karena praktek tanpa ijin, padahal dia punya kemampuan untuk melakukan pengobatan, disini permasalahannya? Buah simalakama bagi dr. Terawan, antara menjalankan sumpah, mengobati orang sekecil apapun kemungkinannya untuk hidup, tapi karena sangsi kode etik beliau menjadi tidak bisa menanganinya dan mengobatinya karena tidak ada ijin dan jika dilakukan tindakan maka bisa dipidana karena melakukan tindakan medis tanpa ijin.
Fakta yang ada berdasarkan testimony dari para pasiennya rata rata mengatakan puas dengan hasil pengobatan yang disebut dr Terawan sebagai pengobatan cuci otak, walaupun dalam kaidah penelitian ilmiah testimony bukan salah satu acuan terbitnya Evidence base Medicine (EBM) yang merupakan satu syarat agar teori dan praktek DSA (Digital Subtraction Angiography) dr. Terawan bisa diterima di bidang kedokteran,tetapi testimony testimony ini setidaknya menunjukkan masyarakat sangat membutuhkan pengobatan yang dilakukan oleh dr Terawan, namun karena masalah pelanggaran etika yang ukurannya juga sangat subjektif, sebab masalah moral bisa ditafsirkan menurut rasa orang yang berbeda-beda dan sangat sumir pembuktian pelanggaran moral tersebut, dan ukuran moral ini yang dijadikan dasar pertimbangan untuk membungkam praktek kedokteran yang dilakukan oleh dr Terawan, ini sangat ironis dan bertentangan dengan AD/ ART yang mengharuskan para dokter mengembangkan ilmu pengetahuannya ;
Pemecatan Permanen ini telah merampas hak hidup dr Terawan karena tidak dapat mendapatkan penghasilan dari keahliannya lagi, karena tidak boleh praktek, tentunya tidak hanya dr terawan yang rugi namun masyarakat dan juga bangsa ini rugi, karena ada dokter yang cerdas dan kreatif dalam menemukan metode penyembuhan bukannya dihargai malah dimatikan kretifitasnya karena kode etik yang sifatnya hanya mengatur tata cara berperilaku;
Bahwa keputusan MKEK itu sendiri telah melanggar sumpah dokter yang mengharuskan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan pasiennya sekecil apapun kemungkinannya untuk hidup. Bahwa temuan dr Terawan dengan istilah cuci otak terbukti telah banyak menyembuhkan pasiennya dari penyakit yang diderita hal ini terbukti dari testimonninya para pasien yang berobat ke dr. Terawan dengan metode cuci otak tersebut, tindakan dr Terawan dalam menemukan cara pengobatan tersebut adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi sumpahnya menyelamatkan kehidupan pasien sekecil apapun kemungkinannya ternyata itu berhasil meskipun mungkin ada satu dua kegagalan tapi secara keseluruhan dapat dianggap berhasil, kalau ada kegagalan itupun tidak ditemukan terjadi karena kesalahan tindakan atau prosedur, karena hingga saat ini tidak ada yang melapor dan tidak ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang menghukum dr Terawan atas tindakan medis yang dilakukan, keputusan MKEK yang memecat dr Terawan dari keanggotaan IDI berarti menghilangkan semua Kecerdasan dan kemampuan dr Terawan untuk berkreasi dan mengembangkan temuan-temuannya, keputusan MKEK yang didukung oleh IDI itu justru membuat upaya dokter yang menjalankan sumpah dokter agar berupaya menyembuhkan pasien sekecil apapun kemungkinannya menjadi pupus, kedepan dokter-dokter kita akan menjadi dokter yang hanya mencontoh saja sifatnya , dan tidak berani mengembangkan ilmunya untuk menemukan sesuatu temuan yang bisa menyembuhkan orang banyak karena takut jika temuannya tidak sesuai dengan ketentuannya IDI atau yang melanggar etika yang didasarkan pada pendapat atau tafsiran dari pengurusnya atau anggotanya yang dapat mengakibatkan dicabut kenagggotannya, jika keadaan ini dipertahankan hal itu merupakan isyarat kematian bagi kemajuan dokter-dokter di Indonesia;
Bahwa Putusan MKEK juga telah melebihi keputusan pengadilan karena Putusan MKEK telah menghilangkan hak keperdataan dari dr Terawan untuk praktek, padahal kebenaran atas tuduhan yang dituduhkan kepada dr Terawan secara hukum belum pernah diuji kebenarannya di depan persidangan;
Merujuk kasus pemecatan permanen terhadap dr Terawan telah menggambarkan Keputusan IDI yang didasari rekomendasi MKEK tersebut telah mengakibatkan sikap IDI lebih mengutamankan prosedur dari pada hasil kesembuhan , padahal bagi orang sakit tidak masalah bagaimana cara pengobatannya yang penting adalah kesembuhannya, demikian pula soal biaya pengobatan adalah tidak relevan untuk dijadikan dasar putusan karena sangat relative sifatnya dan belum ada ketentuan atau undang undang yang mengatur tentang tariff dokter dengan tarif terendah berapa dan tertingggi berapa? Yang dapat dijadikan patokan untuk memeriksa dan memutuskan dan menyetakan biaya pengobatan yang dilakukan dr Terawan lebih mahal tarifnya
Melihat keputusan IDI terhadap dr. Terawan maka kehidupan para Dokter sangat ditentukan oleh itikad baik Pengurus dan MKEK serta anggotanya padahal IDI hanyalah organisasi Profesi dengan memperhatikan begitu banyaknya dampak dari keputusan IDI yang didasari Rekomendasi MKEK tersebut maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan :
- Dokter Terawan mengajukan hak Jawab atas Rekomendasi MKEK atau pembelaan ke IDI, apakah benar secara hukum/aturan dasar pertimbangan yang dibuat serta apakah telah didukung oleh bukti yang valid? Hal ini yang perlu diuji kebenarananya.
- Terhadap Putusan IDI yang didasari Rekomendasi MKEK maka dr Terawan dapat mengajukan banding .
- Sebagai masukan, dirasakan perlu membuat organisasi IDI yang baru, sebagai organiasasi yang menaungi para dokter selain IDI yang ada saat ini sehingga IDI sendiri tidak menjadi superbodi. Adanya Organisasi profesi yang baru akan membuat angggotanya bisa lebih bebas dalam berkreasi dan menciptakan temuan temuan yang baru untuk peningkatan pelayanan dokter karena tidak takut di cabut keangotaanya , sekaligus juga memotivasi organisasi masing masing memperbaiki diri agar menjadi yang terbaik
- Dokter Terawan dapat Melakukan Gugatan Perdata, dengan gugatan perbuatan melawan hukum dan tuntutan ganti rugi atas pemecatan tersebut;
- Dokter Terawan dapat mengajukan Judicial Review terhadap AD/ART IDI & MKEK, karena aturannya telah melebihi keputusan Pengadilan, sebab dapat mencabut hak perdata angggotanya yang selama ini hak itu hanya diberikan oleh pengadilan, karena pengadilanlah tempat dimana orang masing masing dapat membuktikan kebenaran materil dimuka umum dan dengan hira-hira Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, fakta melalui rekomendasi MKEK (yang tidak melalui pembuktian yang terbuka, serta tidak ada hira hira Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa tersebut) bisa mencabut hak perdata dr Terawan, oleh karena itu jika rekomendasi MKEK dieksekusi oleh IDI jelas hal tersebut akan merugikan dr Terawan dan Masyarakat yang memerlukan pengobatan dari dr Terawan, sedangkan dari organisasi tindakan tersebut tidak bermanfaat, atau bisa dimanfaatkan orang yang punya kepentingan lain
- Bahwa Keputusan MKEK terhadap dr Terawan diduga cacat hukum karena isinya saling bertentangan;
- Bahwa IDI hanya organisasi masyarakat, namun kewenangannya sangat luar biasa bahkan bisa membuat anggotanya kehilangan hak Perdata dan mata pencaharian dr Terawan, serta putusannya juga diduga merugikan masyarakat pencari pengobatan yang dapat menyembuhan penyakitnya oleh karena itu Pemerintah harus mengambil alih permasalahan ini dan membuat keputusan yang tetap melindungi ijin praktek dr Terawan agar tercipta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanahkan pasal 5 UUD 45
Ini hanya sebuah pemikiran Firma Hukum Rhema kasih atas peristiwa yang menimpa dr Terawan ;
Bandung, 1 April 2020,
FIRMA HUKUM RHEMA KASIH