suaramediaindonesia.com – Minggu, 7 Mei 2021, Dadang A. Sapardan (Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
BANDUNG BARAT – Beberapa waktu lalu sempat ngobrol ringan dengan beberapa orang guru yang terbiasa menjadi teman diskusi di saat waktu senggang. Obrolan ringan tersebut berisi tentang penerapan berbagai kebijakan pendidikan yang selama ini diberlangsungkan. Sekalipun tidak dikemas dengan nuansa keseriusan, obrolan mengarah pada upaya pencarian format nyata tentang pemajuan pendidikan, terutama pada ranah kualitas. Obrolan tersebut pada akhirnya berujung pada konklusi bahwa keberhasilan pendidikan tidak semata mengandalkan sekolah sebagai aktor tunggal, tetapi harus ditopang dengan komitmen dari pihak lain yang memiliki perisnggungan dengan kebijakan dan implementasi pendidikan.
Berbicara pendidikan, seakan bergumul dengan banyak elemen yang tidak akan pernah habis-habisnya untuk dikupas. Bahasan tentang pendidikan begitu seksinya untuk dikupas dalam berbagai forum formal atau non-formal, maupun dari berbagai sudut pandang. Banyak sekali pendapat dan pemikiran berdasarkan berbagai kajian yang diungkapkan oleh para pemerhati pendidikan. Pendapat yang terungkap tersebut di antaranya menyajikan solusi terbaik—menurut pandangan mereka—guna mendorong pemajuan pendidikan ke arah yang lebih baik lagi.
Melihat keterlahiran regulasi yang mengarah acuan penerapan kebijakan pendidikan, regulasi yang menjadi acuannya adalah tentang standar nasional pendidikan (SNP). Baru-baru ini Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Produk hukum ini merupakan regulasi terbaru yang mengganti regulasi lama dalam upaya menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian dan masa depan—dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan masyarakat.
Lahirnya regulasi tersebut mengungkapkan delapan standar minimal dalam pengelolaan sekolah—kedelapan standar tersebut memiliki kesamaan dengan regulasi lama yang selama ini menjadi acuan. Kedelapan standar minimal yang disebut standar nasional pendidikan (SNP) tersebut, yaitu: 1) standar kompetensi lulusan, 2) standar isi, 3) standar proses, 4) standar penilaian, 5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 6) standar pengelolaan, 7) standar sarana dan prasarana, dan 8) standar pembiayaan.
Kedelapan standar dalam SNP tersebut membentuk rangkaian input, proses, dan output sebagai realisasi penerapan pendekatan education production fungction. Standar yang termasuk unsur input adalah sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, serta pembiayaan. Standar yang termasuk unsur proses adalah standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Sedangkan standar kompetensi lulusan merupakan bagian dari output atau muara dari input dan proses.
Kedelapan SNP tersebut dimungkinkan sebagai sarana untuk pencapaian visi pendidikan Indonesia yang belum lama ini di-release oleh Kemendikbud. Visi pendidikan Indonesia yang dimaksud adalah mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global.
Dalam upaya mendorong sekolah agar dapat memencapai visi tersebut bukanlah perkara mudah. Sekolah sebagai ekosistem pendidikan yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik guna mewujudkan profil pelajar Pancasila perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama dari setiap stakeholder pendidikan.
Karena itu, posisi sekolah yang menduduki tempat strategis sebagai elemen teknis kebijakan pendidikan, dalam setiap langkahnya harus ditopang oleh penerapan kebijakan teknis yang serius. Tidak kurang dari tiga pilar yang harus menjadi perhatian sekolah dalam mendorong kemajuan pengelolaan pendidikan. Ketiga pilar tersebut adalah manajemen pembelajaran yang kredibel, manajeman pengelolaan sekolah yang akuntabel dan transparan, serta peran serta orang tua dan masyarakat yang intens terhadap perkembangan sekolah.
Berkenaan dengan keterlahiran manajemen pembelajaran yang kredibel, langkah yang harus dilakukan adalah penumbuhan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran. Penumbuhan profesionalisme guru ini dimaknai sebagai upaya melahirkan sosok kompeten guna melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar serta berkomitmen kuat untuk meningkatkan kompetensinya. Penerapannya tentu dilakukan dalam konteks kurikuler secara komprehensif—intrakurikulur, ekstrakurikulur, serta kokurikuler.
Dalam kaitan dengan manajeman pengelolaan sekolah yang akuntabel dan transparan bisa dimaknai bahwa manajemen yang diterapkan harus ditopang oleh oleh tahapan-tahapan yang sistematis—perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Keempat langkah tersebut tidak bisa dilakukan dengan serampangan, tetapi harus dijalankan dengan mengikuti ketentuan normatif sehingga benar-benar akuntabel dan transparan. Dalam konteks ini, manajemen pengelolaan sekolah yang diterapkan harus dibangun atas dasar kebersamaan oleh seluruh unsur ekosistem sekolah.
Peran serta dan dukungan orang tua dan masyarakat merupakan modal besar yang tidak bisa dikesampingkan dalam upaya memajukan sekolah. Pihak sekolah harus dapat merangkul kedua elemen tersebut dengan baik, sehingga mereka memiliki perhatian besar terhadap laju perkembangan sekolah. Timbulnya perhatian besar tersebut dimungkinkan terjadi karena di sana terdapat anak-anak mereka yang tengah mengikuti pendidikan. Untuk itu, sekolah harus membuka lebar-lebar kanal komunikasi yang dapat menampung dan memfasilitasi berbagai ide dan pemikiran, sumber belajar, serta pembiayaan dari elemen orang tua dan masyarakat.
Ketiga pilar pendukung keberlangsungan pengelolaan sekolah tersebut dimungkinkan dapat menjadi penopang keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan seperti yang tertuang dalam visi pendidikan Indonesia.
Narasumber : Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat). Pewarta : DasARSS IiNews Jabar. Editor Red IiNews : Liesna Ega