Suaramediaindonesia .com | Senin, 4 Oktober 2021.
OPINI
BANDUNG BARAT, JABAR | Pada berbagai waktu lalu berkesempatan menjadi narasumber dalam sebuah workshop yang membahas upaya pencegahan penyebaran dan penyalahgunaan narkoba. Workshop yang diselenggarakan BNN Kab. Bandung Barat tersebut diikuti berbagai unsur pendidikan—perguruan tinggi, kepala sekolah, dan siswa.
Sebelum menyampaikan materi, sempat ngobrol sejenak dengan Kepala BNN Kab. Bandung Barat tentang fenomena penyebaran dan penyalahgunaan narkoba. Ternyata, di tengah pandemi Covid-19, penyebaran dan penyalahgunaan narkoba tidak mengalami penurunan, malah terus menaik. Di tengah situasi seperti ini, terjadi peningkatan prevalensi penyalahgunaan narkoba pada beberapa wilayah. Fenomena tersebut menggundahkan pihak yang selama ini bergelut untuk menekan penyebaran dan penyalahgunaannya, terutama BNN sebagai leading sektornya.
Dalam satu kesempatan, Presiden, Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa Indonesia berada pada kondisi darurat narkoba. Statement tersebut harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak karena kondisi darurat mengarah pada situasi yang sangat mengkhawatirkan bila dibiarkan dan tidak ditangani dengan baik oleh berbagai pihak. BNN sebagai leading sektor dalam pemberantasan penyebaran dan penyalahgunaan narkoba terus berupaya untuk menekan penurunan angka prevalensi narkoba.
Terkait dengan angka prevalensi ini, pada tahun 2019 BNN bersama LIPI merilis bahwa angka prevalensi narkoba di Indonesia dalam setahun berada pada posisi 1,80%. Angka prosentase tersebut lebih kurang setara dengan 3,5 juta jiwa. Jumlah pengguna sebanyak tersebut didominasi oleh penduduk usia produktif (working age). Fenomena keberlangsungan dan peningkatan penyalahgunaan narkoba inilah yang melahirkan statement Presiden tentang kondisi darurat narkoba tengah melanda bangsa ini.
Pada abad ini diyakini bahwa kebesaran bangsa akan ditentukan oleh kebijakan pembangunan kesejahteraan berbasis kekayaan peradaban—peradaban sebagai modal pembangunan, sumber daya manusia beradab sebagai modal pembangunan, serta penduduk sebagai pelaku/produsen. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan keyakinan yang berkembang pada abad sebelumnya.
Pada abad ke-20 para berbagai pihak berkeyakinan bahwa kekayaan alam–pembangunan ekonomi berbasis sumber daya, sumber daya alam sebagai modal pembangunan—dapat menjadi dasar kemajuan bangsa dan negara.
Berdasarkan statistik kependudukan, sejak tahun 2010 sampai diperkirakan tahun 2045, bangsa ini akan menerima bonus demografi dengan dihuni dan didominasi oleh working age, usia kerja/usia produktif yang berpotensi untuk menjadi energi besar guna mendorong kemajuan bangsa. Kepemilikan potensi ini bila terkelola dengan optimal akan dapat menjadi modal utama pemajuan bangsa dan negara. Lebih jauh lagi, bisa mendorong bangsa ini untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dalam percaturan persiangan kehidupan dunia.
Bonus demografi dengan dominasi working age merupakan sebuah prediksi yang dimungkinkan terjadi, tetapi proses menjadikan working age yang berkualitas sehingga menjadi sosok potensial yang berkontribusi dalam mendorong kemajuan bangsa, merupakan langkah yang dapat dirintangi. Upaya perintangan di antaranya dengan melumpuhkan bibit-bibit sumber daya manusia potensial melalui berbagai cara dan strategi.
Beberapa pemerhati pernah mengungkapkan, bahwa bangsa Indonesia tengah berada di bawah ancaman bayang-bayang proxy war dari pihak-pihak tertentu. Upaya tersebut dimungkinkan karena ada ketakutan lahirnya kekuatan bangsa ini dengan sumber daya potensialnya, working age yang akan mendominasi penduduk bangsa ini. Untuk mencegah dan melawan kekuatan yang akan dimiliki bangsa ini, salah satu cara yang dilakukan adalah menerapkan strategi proxy war.
Proxy war dimaknai sebagai perang yang diciptakan ketika lawan atau musuh menggunakan dan memanfaatkan pihak ketiga sebagai mesin perangnya. Aktor pelaksananya, pihak ketiga yang digunakan untuk memerangi ini bisa dalam bentuk lembaga non-negara, organisasi, tentara bayaran, atau kekuatan lainnya yang dipandang dapat menyerang lawan tanpa menyebabkan perang dalam skala penuh. Dalam proxy war ini lembaga atau negara yang memerangi—penggerak aktor pelaksana—cukup sulit dideteksi. Proxy war dilakukan dengan maksud untuk menguasai sumber daya negara atau bangsa yang diperanginya. Dengan istilah sederhana, proxy war ini bisa disamakan dengan istilah memukul dengan meminjam tangan orang lain.
Sejarah telah membuktikan bahwa kekalahan Tiongkok atas Inggris merupakan keberhasilan strategi proxy war yang dijalankan Inggris. Tiongkok harus bertekuk lutut pada Inggris karena banyak prajuritnya menjadi pecandu opium yang dipasok secara besar-besaran ke Tiongkok oleh pihak ketiga yang menjadi aktor pelaksananya.
Padahal, selama beberapa tahun ke belakang, Tiongkok dengan kekuatan tentaranya yang militan, sulit ditaklukan oleh Inggris. Ujung dari kekalahan tersebut, Tiongkok harus menandatangani Perjanjian Nanking yang salah satu isinya adalah penguasaan Inggris atas Hongkong selama 100 tahun.
Berkaca pada sejarah Perang Candu yang mengakibatkan kekalahan Tiongkok tersebut, tentunya kita berharap agar kejadian yang dialami Tiongkok tidak teralami oleh bangsa ini. Kecanduan penduduk potensial yang tengah dalam posisi working age sehingga menjadi sosok harapan masa depan bangsa harus menjadi perhatian setiap pemangku kepentingan. Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba harus terus ditekan, sehingga target pelemahan sendi-sendi kehidupan bangsa melalui pembunuhan karakter generasi masa depannya dapat disingkirkan.
Untuk melakukan perlawanan akan proxy war dari pihak-pihak tertentu, semua elemen bangsa ini harus bersatu-padu dan bersinergi, sehingga dapat memanfaatkan kepemilikan potensi sumber daya manusia dengan sebaik-baiknya. Dengan kepemilikan sumber daya manusia potensial yang dapat dimanfaatkan untuk berkontribusi dalam pembangunan, bangsa ini dimungkinkan dapat mensejajarkan diri dengan bangsa lain dalam percaturan kehidupan dunia.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membangun kolaborasi di antara berbagai pihak dengan BNN sebagai leading sektor-nya. BNN tidak akan berdaya ketika tidak ditopang oleh para pemangku kepentingan lainnya dalam upaya memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba. BNN tidak dapat dibiarkan berjuang sendirian karena BNN bukanlah ‘Rambo’ seperti dalam film fiksi yang dapat menghabisi musuh dengan kekuatan seorang diri.
Semua pemangku kepentingan harus berkolaborasi dengan BNN membangun sinergitas guna memberantas penyebaran dan penyalahgunaan narkoba. Para pemangku kepentingan yang memungkinkan untuk bersama-sama dengan BNN, tidak kurang dari pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dunia usaha dan industri, serta elemen masyarakat lainnya.
Dengan keterbangunan kolaborasi di antarelemen tersebut, upaya proxy war dimungkinkan akan dapat diimbangi, sehingga kekhawatiran akan tergerusnya generasi penerus bangsa pada bentuk penyimpangan akibat penyalahgunaan narkoba dapat dihindari.
Dengan demikian, tugas kita semua untuk berkolaborasi membangun sinergitas dalam upaya mencegah semakin tingginya prevalensi narkoba di negara ini. Dalam konteks ini, tugas yang harus dilakukan adalah mensinergikan berbagai ide, pemikiran, dan kiprah guna turut serta mencegah semakin meluasnya penyebaran dan penyalahgunaan narkoba di negeri ini.**
Narasumber : Disdikkbb. Pewarta : DasARSS IINews Jabar . Editor Red : Liesna Ega.